Penggusuran di Tembesi Tower: Cerminan Pola Lama, Hukum Dikesampingkan?

Foto di kawasan Tembesi Tower, Kota Batam

KabarNewsLine –Rabu, 8 Januari 2025 Ketegangan memuncak di kawasan Tembesi Tower, Kota Batam, Kepulauan Riau, setelah penggusuran oleh Tim Terpadu memicu gelombang kritik dari warga. Mereka menilai tindakan tersebut tidak hanya mengabaikan asas keadilan, tetapi juga mencerminkan pola represif yang dianggap mirip "zaman dahulu kala," di mana hukum seolah kehilangan perannya.

Warga mengklaim memiliki dasar legalitas yang kuat, berupa Surat Keputusan (SK) Wali Kota Batam serta izin prinsip. Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya menyatakan, “Kalau tidak ada SK dan izin prinsip, bagaimana mungkin ada bangunan permanen, fasilitas umum, hingga masjid di sini? Bahkan, beberapa fasilitas dibangun dengan dana APBD. Ini bukti sah keberadaan kami.”

Namun, tawaran kompensasi dari pihak perusahaan dinilai tidak manusiawi. Warga hanya diberikan ganti rugi berupa nilai fisik bangunan dan subsidi kontrakan sebesar satu juta rupiah per bulan selama tiga bulan. “Kami diajak bicara malam hari, tetapi pagi sudah diminta pindah. Ini seperti dipaksakan tanpa memberi waktu untuk berbenah,” keluh salah satu warga.

Ironisnya, proses hukum terkait status lahan ini masih berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sidang keempat dijadwalkan segera, namun penggusuran tetap dilakukan meskipun belum ada putusan final. “Kami siap mengikuti keputusan pengadilan, tetapi jika pembongkaran dilakukan sebelum ada putusan inkrah, siapa yang bertanggung jawab atas kerugian kami?” tegas seorang perwakilan warga.

Bagi warga, tindakan ini tidak hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi supremasi hukum. Mereka mempertanyakan keberpihakan pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat. “Jika eksekusi dilakukan tanpa keputusan akhir, siapa yang akan mengganti kerugian kami? Ini harus menjadi perhatian semua pihak,” tambahnya.

Penggusuran ini tidak sekadar soal kehilangan tempat tinggal, tetapi juga simbol dari lemahnya penghormatan terhadap hak warga. Pertanyaan besar pun mencuat: Apakah ini cerminan kembalinya pola-pola represif masa lalu, atau sekadar pengabaian terhadap keadilan?

Bagi warga Tembesi Tower, perjuangan ini adalah tentang mempertahankan hak-hak mereka sebagai bagian dari masyarakat hukum, sekaligus mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan sepihak.

Ketua Lami Kepri, Datok Agus Ramdah, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kejadian yang dinilai mencederai asas keadilan dan supremasi hukum. 

“Penggusuran ini mencerminkan pola lama yang seharusnya tidak lagi terjadi di era sekarang. Langkah seperti ini menunjukkan adanya pengabaian terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Jika status lahan masih menjadi sengketa di pengadilan, maka tindakan penggusuran sebelum adanya putusan inkrah adalah bentuk ketidakadilan yang nyata,” tegas Ketua LAMI Kepri.

LAMI Kepri juga menyoroti perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dalam menyelesaikan konflik seperti ini. “Tawaran kompensasi yang tidak memadai hanya menambah beban psikologis dan ekonomi warga yang sudah terdampak. Pemerintah dan pihak terkait harus hadir sebagai mediator yang adil, bukan justru memperburuk keadaan.”

Lebih lanjut, Ketua LAMI Kepri mendesak pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap masyarakat kecil. “Hak-hak warga harus dilindungi. Jangan sampai masyarakat menjadi korban atas kebijakan yang terburu-buru dan tidak mengindahkan proses hukum. Kami meminta semua pihak untuk menghormati hukum dan menunda penggusuran hingga ada keputusan final dari pengadilan.” tutupnya.

Tanggapan ini menjadi pengingat bahwa hukum dan keadilan adalah fondasi utama dalam membangun masyarakat yang beradab. Pemerintah dan pihak terkait diharapkan menjadikan kasus ini sebagai refleksi untuk tidak mengulangi pola-pola represif yang mencederai kepercayaan publik.

Berita Ini, Masih Butuh Konfirmasi Selanjutnya.

Posting Komentar

0 Komentar