KabarNewsLine -Kasus dugaan penyelewengan Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) untuk bekas tambang bauksit di Kabupaten Bintan kembali mencuri perhatian publik.
Masyarakat menunjukkan keprihatinan mendalam terhadap lambatnya penyelesaian kasus ini, yang telah dilaporkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) sejak Juni 2020.
Ketidakpastian mengenai proses/penyelesaian kasus ini memunculkan pertanyaan serius tentang komitmen dan transparansi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menegakkan keadilan.
“Mengapa kasus ini harus berlarut-larut? Haruskah prosesnya memakan waktu bertahun-tahun lagi?” tanya seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Dalam konferensi pers yang digelar di Hotel Halim, Tanjungpinang, pada Selasa, 23 Juli 2024 lalu, aktivis Tanjung, mengungkapkan bahwa pihak JAM Intelijen Kejagung baru menanggapi laporan tersebut pada Mei 2024 dan mengangkatnya ke JAM Pidsus pada 8 Juli 2024.
“Kejagung berencana memanggil semua pihak terkait DJPL,” ujarnya, dikutip di HarianHaluanKepri.com.
Tanjung juga menjelaskan bahwa Kejagung telah melakukan pemeriksaan terhadap Inspektorat Bintan pada Maret 2024.
Ia menyoroti bahwa dana DJPL yang berasal dari 44 perusahaan tambang bauksit di Bintan, yang disimpan di PT BNI (Persero) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bintan, diperkirakan mencapai sekitar Rp145 miliar.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada tahun 2016, 2018, dan 2020 menunjukkan bahwa dana reklamasi bekas tambang tersebut telah hilang dari kedua bank.
“Hanya dua orang yang memiliki akses untuk mencairkan uang DJPL di kedua bank tersebut: Direktur perusahaan tambang dan Bupati Bintan periode 2005-2015, AA,” jelasnya.
Tanjung mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepri untuk mengusut tuntas dugaan kasus korupsi DJPL ini. “Kejagung telah meneruskan proses penanganan perkara ini ke Kejati Kepri,” tambahnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa hasil supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menemukan 63 perusahaan tambang bauksit yang menyetorkan DJPL ke dua bank milik negara, senilai Rp168 miliar.
“KPK menyatakan bahwa uang tersebut telah raib dan tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tegas Tanjung.
Lebih lanjut, Tanjung melaporkan bahwa mereka telah mengadukan kasus ini kepada Bareskrim Polri, Kementerian Sekretariat Negara, KPK, dan Kejagung RI. Namun, hingga saat ini, hanya Kejagung yang memproses laporan tersebut.
Kasus ini menyoroti tantangan dalam penegakan hukum serta pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana lingkungan. Masyarakat Bintan menanti keadilan dan pemulihan kerugian yang mereka alami akibat kasus ini.
Dengan situasi ini, masyarakat berharap adanya tindakan nyata dari pihak berwenang untuk mempercepat proses/penyelesaian kasus dan memastikan bahwa keadilan dapat ditegakkan tanpa harus menunggu bertahun-tahun lagi.
(Redaksi)
0 Komentar